Kampung Kecicang Islam
KAMPUNG
IDAMAN...
Selalu
terngiang dalam benakku masa kecil yang penuh warna dan keindahan. Kampung nan
rancak dengan masyaraktnya yang senantiasa menatap bumi, yang lantunan merdu
azan-nya tak pernah henti mengetuk jiwa-jiwa yang merindu Sang Pemilik Hati,
serta derap langkah kaki para kaum adam dan hawa lintas generasi yang
menghidupkan masjid dengan keindahan berjamaah.
Kampungku
adalah fondasi dunia, berjarak 5 kilometer dari permukaan laut dan pusat
pemerintahan. Dihuni 100% warga muslim yang di kelilingi komunitas hindu,
adalah sebuah sinergi nan elok dengan penyatuan ragam spiritualitas dalam satu
wadah yang tak terbatas, meski kini kian sesak oleh komunitas yang dilahirkan
tanpa kendali batas.
Ujung
Timur Pulau Bali – apa yang akan terbersit dalam fikiran saat ku sebut nama
itu? Ya, dominasi warga hindu. Akan ku perkenalkan kalian pada satu kampung
bernama ‘KECICANG ISLAM’. Terdengar sedikit aneh dan tidak familiar bukan?
Wajar saja, karena nama kampung ini diambil dari sebuah nama tumbuhan dalam
bahasa Bali yaitu pohon Kecicang, yang dalam bahasa Indonesia disebut
‘Kecombrang’. Tentu kalian t’lah dapat menyimpulkan. Dinamakan ‘Kecicang Islam’
karena di kampung ini banyak ditemukan tanaman Kecicang dan di diami oleh warga
Muslim.
Alkisah,
kampung ini merupakan hadiah raja sebagai bentuk balas jasa atas keterlibatan
warganya dalam menjaga keamanan dan stabilitas kerajaan dari ancaman musuh. Disini, di tempat nan elok ini aku ditempa hingga remaja. Kehidupan
ragawi warganya yang sarat akan kesederhanaan tak lantas mengkerdilkan
kemampuan intelektualitas dan spiritualitas kami. Sebuah kualitas yang
dibuktikan dengan pencapaian prestasi dalam skala luas, hingga menjadikannya
sebuah ‘oase’ – sumber pembentuk generasi unggul yang tidak hanya cerdas
raganya, pun jiwa dan sukmanya… Optimisme tak pernah surut!
Kelak,
disini – ditempat ini, akan lahir para cendikiawan pembentuk generasi-generasi
unggul dan seimbang (Vertikal – Horizontal). Ini bukanlah sebuah nyanyian
kosong ataupun butir keangkuhan. Hanya sebuah realitas kecil yang hadir dari
sebuah komunitas kecil pada sebuah pulau yang kecil, yang bahkan mungkin tidak
pernah kalian dengar namanya selama ini. Namun ini nyata – apa adanya.
Masa
kecil yang indah kami lalui. Rutinitas keseharian-pun tak pernah dirasa bosan.
Langkah kaki-kaki kecil yang menyusuri jalan menuju ke sekolah di waktu pagi,
bermain dikala siang, kemuadian mengaji saat petang menjelang, adalah sebuah
keindahan tersendiri. Kami tidak terkontaminasi kehidupan kota terlebih
hedonisme, materealisme yang menggiring pada rusaknya moral dan kepribadian,
karena kehidupan kami kala itu disibukkan dengan kegiatan bermain secara alami
bersama alam. Sedang televisi yang kala itu mulai popular di kalangan
masyarakat merupakan hal yang baru bagi kami, karena tidak semua orang
memilikinya, hingga keinginan untuk menyaksikan siaran televisi seolah tak
terlintas dalam benak kami.
Namun
kini semua berbeda. Tak ku lihat lagi keindahan itu. Masa t’lah berganti,
manusia t’lah mengubah semuanya. Pemudanya tak lagi sama. Rasa malu kian
terkikis dalam dirinya. Dulu – kala Ramadhan, masjid selalu menjadi tempat
i'tikaf, namun kini perkumpulan itu berpindah kewarung-warung dan pinggir
jalan. Langgar mulai ditinggalkan, beralih pada satu titik yang lebih menarik
pandangan mereka – sepak bola, futsal. Dan kini tak ku temui lagi perrmainan
petak umpet, klereng, karet, gambaran, kasti, karena t’lah beralih pada
playstation.
Ini
adalah sebuah konsekuensi dari kehidupan global. Westernisasi yang begitu
cepat, bebas, dan tanpa hambatan masuk menerobos tiap celah bahkan pori
terkecil dari kehidupan manusia. Tak ada yang kuasa menolaknya, melainkan
mereka yang telah kokoh dinding keimanannya. Sebuah perubahan yang sangat
mengerikan. Ya, sangat mengerikan! Bagaimana tidak, ini adalah sebuah perubahan
nilai Luhur kepada nilai Lumpur, nilai Permata kepada nilai yang patut ditangisi
air mata Pertobatan…
Madinah,
Maret 2013.
Story by : Ade Kurniawan
Edited by : Dewi Agustina
Edited by : Dewi Agustina
Komentar
Posting Komentar