364 HARI

364 HARI


Sejujurnya sedari awal aku sudah tahu, bahwa berurusan denganmu tidak akan pernah mudah bagiku. Saat itu, saat semesta memberi kita kesempatan untuk menjelajah waktu bersama, saat aku memilih untuk lebih menjadi pendengar atas kisah-kisahmu yang mempesona. Ada tanda tanya mendera…

Bukankah aku seorang yang suka berbicara?
Kenapa sekarang aku diam?
Bukankah aku seorang yang suka berdebat?
Kenapa sekarang aku diam?
Inikah sebuah bentuk kompromi?

Tanda Tanya itu berubah menjadi ketakutan, karena aku teringat akan apa yang sering aku katakana pada siapapun yang sedang kasmaran; “Cinta itu, ga harus menyukai hal yang sama, ga harus punya pendapat yang sama. Cinta itu KOMPROMI. Saat hatimu tak menolak untuk melakukan yang tak pernah kau lakukan. Saat dirimu menerima perbedaan seberapapun perbedaan. Saat kamu menjadi bukan kamu. Saat semua yang kamu lakukan tanpa keterpaksaan. Itu adalah Kompromi. Kompromi ada karena kerelaan hati. Kerelaan hati hadir karena… (simpulkanlah sendiri).

Kala itu aku merasa logika memilih untuk berjalan beriringan bersama perasaan. Aku fikir semua itu baik adanya. Atau mungkin sebenarnya aku mencoba mengingkari kenyataan bahwa Logika-ku mulai terseret Perasaan. Logika-ku mulai dikalahkan.
Kucoba abai dan memilih memikmati setiap detik yang berlalu, setiap kata yang terseru, dan setiap rasa yang memburu.
Ku fokuskan pendengaran pada setiap ucapan. Ku arahkan pandangan pada setiap tatapan. Aku (sedang) Membacamu.

Terbaca.

Terbaca jelas seperti apa dirimu adanya. Akan seperti apa kita menjalaninya. Tapi kucoba abai pada kemungkina di-akhirnya. Karena aku memilih menikmati semuanya. Sebuah keputusan yang bukan tanpa resiko.

Waktu berlalu. Hari ini, tepat 1 tahun yang lalu KOMPROMI itu ku-kukuhkan. Ku coba merefleksikan diri tentang semua yang telah terjadi. Banyak yang sudah kita perbincangkan. Tentangmu, tentangku. Beratnya hidup yang kau jalani, pedihnya hidup yang ku alami.

Pernah sekali aku menyampaikan rasa, dan kamu tak pernah menjawabnya dengan kejelasan. “Ya” atau “Tidak”. Tak pernah sekalipun terucap darimu. Hanya ada kata “Terimakasih” diiringi senyuman, yang sungguh sangat sulit untuk ku terjemahkan. Akhirnya kucoba mendeskripsikan satu kata itu.

Terimakasih mungkin saja menunjukkan bahwa kamu tidak terganggu dengan adanya aku. Bahwa kamu tidak bisa berjanji kita akan bersama. Bahwa jika aku orangnya, maka kamu akan menerima. Bahwa jika bukan aku, maka harus aku terima. Bahwa kita bebas mencari dan menentuan pilihan.”

Terdengar bijak terkadang. Tapi aroma Egois tercium lebih kencang.
Esok, setelah 364 hari berlalu, aku masih tak tahu Siapa Aku, Siapa Kamu, Siapa Kita!



Bali, 1 Agustus 2017

Komentar

  1. suatu ketika, rasa itu benar-benar bisa untuk kurasakan. sebuah rasa yang entah kapan dan bagimana, yang ternyata telah tumbuh besar dan sangat sulit untuk ditumbangkan. sebuah rasa yang entah angin apa yang membawanya. yang kemudian merasuki tubuh lemah, dan tanpa bisa untuk dikendalikan oleh akal fikiran lagi. rasa yang telah mengambil penuh kendali jiwa dan raga. rasa yang sempat membuatku sangat kebingungan. apakah ini yang dinamakan cinta? atau hanya sekedar rasa yang segera akan pudar dimakan masa. rasa yang membunuhku secara perlahan. rasa yang membuatku sempat untuk berfikir, akankah ia menjadi yang terbaik? atau hanya sekedar senja dipenghujung gurun sahara.

    andai langit membukakan sedikit saja pintunya, ingin ku mengintip kedalam. melihat sedikit saja rahasia angkasa. terlalu banyak yang harus dipertimbangkan dan dipikirkan.

    pada akhirnya, sang masa sendirilah yang akan menjawab semua tanda tanya didalam dada. sang masa yang membuatku berfikir, bisakah kau bertahan dengannya dengan segala kekurangannya? sebuah jawaban yang membutuhkan tekad, dan tujuan yang kuat. sebuah jawaban, yang akan segera teraplikasikan dalam sebuah pengorbanan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer